Wednesday, April 24, 2013
Attitude
Tuesday, April 16, 2013
Reksadana Indeks Versus ETF
Pembelian reksa dana indeks sama dengan reksa dana pada umumnya. Kita dapat membelinya di agen penjual reksa dana atau langsung ke manajer investasinya. Begitu juga jika kita ingin menjual unit reksa dana kita. NAB reksa dana indeks dapat kita lihat setelah berakhirnya sesi perdagangan harian.
Karena reksa dana indeks memerlukan pengawasan yang relatif sedikit, maka management fee untuk MI biasanya cukup rendah. Untuk Danareksa Indeks Syariah, management fee tahunan maksimal 0.3% dari NAB. Biaya ini jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya pengelolaan reksa dana saham biasa yang bisa mencapai 2.5% per tahun.
Hampir sama dengan reksa dana indeks, ETF berusaha untuk mereplikasi indeks tertentu agar kinerjanya sama dengan indeks acuan tersebut. Pembentukan ETF berbeda dengan reksa dana indeks. Mari kita perhatikan gambar berikut:
Dealer partisipan akan membeli saham-saham di pasar dengan komposisi yang saham dengan indeks acuan sampai dengan jumlah tertentu. Saham-saham yang telah dibeli ini kemudian ditukarkan dengan unit kreasi yang dibuat oleh manajer investasi ETF. Setelah memiliki unit kreasi yang dimiliki oleh dealer partisipan dapat disimpan sendiri atau dijual ke pasar setelah dipecah-pecah dalam bentuk unit penyertaan. Satuan penjualan di pasar adalah lot (500 unit penyertaan).
Jadi, perbedaan pertama antara ETF dengan reksa dana indeks adalah bagaimana cara pembentukannya. Pada ETF, yang berhak untuk bertransaksi dengan manajer investasi hanyalah dealer partisipan yang sering disebut juga dengan market maker.
Sama halnya dengan reksa dana indeks, pengelolaan ETF juga bersifat pasif sehingga management fee nya pun relatif rendah jika dibandingkan dengan reksa dana saham pada umumnya.
Perbedaan kedua adalah pihak yang menjual dan membeli unit penyertaan. Investor ETF hanya dapat membeli dan menjual unit penyertaan dari investor lain melalui pasar sekunder. Proses transaksinya sama persis dengan transaksi saham. Jadi saat membeli atau menjual unit penyertaan, kita tidak dikenai subscribe atau redeem fee melainkan komisi broker yang jumlanya bervariasi antara 0.2%-0.3% untuk pembelian dan 0.3%-0.4% untuk penjualan. Kesimpulannya untuk dapat berinvestasi di ETF, kita harus terdaftar sebagai nasabah suatu sekuritas.
Perbedaan ketiga adalah penetapan harga unit penyertaan. Jika pada reksa dana indeks, NAV nya ditentukan berdasarkan nilai wajar dari aset yang dimilikinya, maka pada ETF, harganya tidak harus sama dengan NAV nya. Di samping itu, harga ETF akan diupdate secara kontinyu selama perdagangan di pasar berlangsung. Hal ini berbeda dengan reksa dana indeks di mana NAV nya hanya dapat kita ketahui 1 kali setiap harinya yaitu saat perdagangan di pasar telah berakhir. Harga unit penyertaan ETF ditentukan oleh transaksi antar investor di pasar.
Perbedaan keempat adalah periode settlement. Jika kita ingin membeli reksa dana indeks, kita harus menyediakan dananya terlebih dahulu. Jika kita membeli ETF, kita tidak harus memiliki dananya saat itu juga, akan tetapi diberi waktu hingga 3 hari setelah transaksi (T+3). Adanya perbedaan ini disebabkan karena ETF diperlakukan sama dengan saham yang memiliki periode settlement 3 hari.
Walaupun terdapat beberapa perbedaan, ETF dan reksa dana indeks memiliki persamaan:
- Portfolionya mengacu pada suatu indeks tertentu
- Biaya pengelolaan yang relatif rendah
Lalu mana yang kita pilih?Jika kita adalah investor pasif, maka baik ETF maupun reksa dana indeks sama saja. Namun jika kita adalah investor aktif, maka ETF merupakan pilihan yang lebih baik karena dapat diperdagangkan secara real-time tanpa harus menunggu berakhirnya sesi perdagangan. Baik ETF maupun reksa dana menawarkan satu keunggulan yaitu memiliki kinerja yang menyamai indeks acuan dengan biaya pengelolaan rendah.
Namun ada hal lain yang harus kita perhatikan. Saat ini volume perdagangan ETF sangat rendah sehingga mengakibatkan lebarnya spread (perbedaan) antara harga bid dan offer di pasar. FYI, ’bid’ adalah harga yang kita dapatkan jika ingin menjual ETF saat itu juga sedangkan ’offer’ adalah harga yang kita dapatkan jika kita ingin membeli ETF saat itu juga.
Selain itu, karena tidak ada keharusan bahwa harga unit penyertaan ETF sama dengan NAV nya, maka terkadang terdapat perbedaan yang cukup besar antara harga dengan NAV nya. Jika kita jeli, maka kita dapat memanfaatkannya dengan membeli ETF jika harganya di bawah NAB dan menjualnya jika harganya lebih tinggi dari NAV nya. FYI, NAV ETF seharusnya sama dengan nilai indeks acuannya.
Hal yang serupa dapat pula dilakukan oleh dealer partisipan untuk menambah keuntungan. Saat harga ETF lebih tinggi daripada indeks acuan, maka dealer partisipan akan membeli saham-saham penyusun portfolio ETF di pasar dan kemudian menjual unit kreasi yang dimilikinya kepada manajer investasi ETF. Demikian pula jika harga ETF lebih rendah daripada indeks acuannya, maka dealer partisipan dapat menjual saham-saham penyusun portfolio ETF dan menggunakan dana yang didapat untuk membeli unit kreasi dari manajer investasi ETF. Tindakan ini disebut dengan arbitrage.
Demikian sedikit paparan mengenai ETF dan reksa dana indeks. Selamat berinvestasi!
Source : www.parahita.wordpress.com
Friday, April 5, 2013
Saturday, March 2, 2013
Kolaborasi
Dahulu setiap pebisnis berusaha mencari lokasi yang jauh dari kompetitor. Namun, sekarang para pebisnis yang ada dalam satu industri berlomba untuk berkumpul bersama di sebuah sentra usaha. Maka sekarang kita lihat seperti sentra bisnis dengan produk atau jasa spesifik dan sejenis, ada sentra bisnis produk elektronik, pusat perdagangan tektil, sentra kuliner, bahkan sudah mulai ada sentra jasa lawyer yang berdampingan bersama-sama.
Orang tak takut lagi bersaing dengan tetangga, justru hidup berdampingan secara sehat. Dengan kata lain, orang tak sibuk lagi berkompetisi, tetapi dengan senang hati ingin berkolaborasi. Para pelaku bisnis tahu persis bahwa pasar terlalu kecil untuk diperebutkan satu sama lain, namun justru terlalu luas dan terbuka lebar untuk dikembangkan bersama-sama.
Ketika ekonomi dunia sedang mengalami turbulensi maha dashyat, tak satu negara pun sanggup menyelesaikannya sendiri. Termasuk negara adidaya seperti USA sekali pun sepakat bahwa semua negara harus bergandengan tangan mengatasi persoalan ini. Tiap individu, korporasi, dan juga pemerintah harus keluar dari semangat ultrakompetisi yang saling membunuh satu sama lain. Sebaliknya, hanya kolaborasilah yang mampu menciptakan inovasi terobosan untuk menyelesaikan pe rsoalan multidimensi.
Khususnya bagi dunia usaha, semangat kolaborasi bukan sekadar sebuah pilihan, melainkan sudah menjadi keniscayaan. Jika ingin tetap eksis, sebuah perusahaan harus membangun jejaring yang terbuka dengan pesaing, pelanggan, pemerintah, asosiasi pengusaha, komunitas akademisi, serta mitra bisnis mereka.
Model inovasi tertutup yang ditempuh oleh sebuah organisasi tunggal adalah pendekatan masa lampau. Inovasi terbuka lewat kolaborasi antar institusi akan menjadi daya saing baru. Masalahnya, bagaimanakah bentuk kolaborasi yang cocok bagi perusahaan kita?
Pakar manajemen inovasi, Gary P. Pisano dan Roberto Vergantti, dalam tulisan Which Kind of Collaboration is Right for You? (HBR, Desember 2008), memperkenalkan empat model kolaborasi.
Elite Circle
Sebuah perusahaan memilih sekelompok orang tertentu yang diminta merumuskan masalah sekaligus juga mengajukan usulan pemecahannya.
Innovation Mall
Wahana bagi sebuah perusahaan untuk menempatkan masalahnya dan mengundang orang untuk mengusulkan pencerahan. Setelah itu, perusahaan akan memilih solusi terbaik diantara ususlan yang ada. Salah satu contoh wahana ini dapat berupa website yang berfungsi menempatkan berbagai problem. Setiap orang bebas masuk ke website untuk memberikan komentar dan alternatif solusi atas problem yang diposting tersebut.
Innovation Community
Cara ini memungkinkan setiap orang mengajukan masalah apa pun, sekaligus menawarkan solusi apa pun. Secara kolektif mereka memutuskan solusi yang akan digunakan bersama. Contoh populer model ini adalah komunitas peranti lunak linux open source.
Consortium
Memilih beberapa perusahaaan mitra secara selektif untuk merumuskan masalah, menentukan mekanisme kerja, serta memutuskan solusi yang akan ditempuh. IBM memakai pendekatan ini dengan memilih beberapa perusahaan mitra untuk mengembangkan teknologi semikonduktor.
Setiap pemimpin harus memiliki pengertian tentang strategi perusahaan secara keseluruhan, sebelum memilih model kolaborasi yang akan ditempuh. Demikian juga setiap perusahaan harus mampu menawarkan sesuatu yang unik bagi proses kolaborasi tersebut, agar mampu terlibat secara aktif sebagai pelaku.
Namun, apa pun model kolaborasi yang dipilih, saatnya dunia usaha sepakat membangun sinergi kolaborasi dalam memburu inovasi. Sudah bukan jamannya lagi perusahaan menutup diri dan sibuk menggarap inovasi seorang diri.
Source: Ekuslie Goestiandi, Kontan, 23 Februari 2009
Thursday, February 7, 2013
Belajar dari 'LEM'
Friday, February 1, 2013
Kompleksitas Kesuksesan dan Kebahagiaan
Anda seorang yang sedang mencari cinta sejati. Karena itu, Anda menghabiskan waktu untuk perawatan kecantikan, berusaha menampilkan diri Anda yang terbaik dan sebisa mungkin menutupi kekurangan Anda. Anda ingin menunjukkan bahwa Anda lebih istimewa dibanding kandidat lainnya. Cinta sejati justru tidak pernah datang.
Anda seorang pencari kebahagiaan. Anda berusaha menciptakan lingkungan yang bisa memberi Anda kesenangan terus menerus. Anda justru merasa bosan dan hampa.
Sementara itu, Anda melihat orang-orang yang kelihatannya tidak berupaya sekeras Anda justru berhasil menggapai apa yang Anda idam-idamkan.
Bila Anda (atau orang-orang yang Anda kenal) pernah mengalaminya, menurut John Kay, seorang ekonom terkemuka Inggris, hal itu adalah hasil dari prinsip obliquity. Kay berpendapat, hal-hal penting yang melibatkan partisipasi orang lain — seperti kekayaan berlimpah, cinta kasih, kebahagiaan — dan yang melibatkan sistem yang kompleks seperti kelestarian lingkungan hidup, lebih baik dicapai dengan cara-cara tidak langsung. Pencapaian yang dilakukan secara langsung, walau mungkin bisa memberikan sukses sesaat, namun dalam jangka panjang bisa menjadi bumerang.
Sepintas pendapat tersebut kedengaran kurang masuk akal. Bukankah orang-orang yang berusaha kaya akan berusaha lebih keras dibanding orang yang tidak melakukan apa-apa? Bukankah kerja keras sangat dihargai? Bukankah orang yang secara spesifik mencari pasangan hidup akan memiliki probabilitas lebih tinggi untuk mendapatkan pendamping hidup?
Menurut Kay, dalam batas-batas tersebut, jawabannya adalah “YA”. Orang-orang yang berusaha untuk kaya secara rata-rata pasti lebih kaya dari yang tidak berusaha. Dan demikian juga untuk hal-hal lainnya. Namun, bila Anda ingin benar-benar kaya, benar-benar sukses, benar-benar bahagia, Anda dianjurkan untuk tidak mengejar tujuan tersebut secara langsung. Tentu saja Anda tetap harus bekerja keras, namun kerja keras tersebut dilakukan demi alasan lain.
Lihat saja daftar orang-orang kaya versi Forbes atau Fortune. Bill Gates, yang selalu menempati ranking orang terkaya di dunia selama beberapa tahun terakhir, tidaklah menghabiskan waktu untuk menghitung penghasilannya setelah mendirikan Microsoft. Apa yang ada di pikirannya adalah membuat sistem operasi dan perangkat lunak komputer yang lebih baik dan mengejar mimpinya untuk melihat setiap orang memiliki satu komputer. Demikian juga partnernya, Paul Allen. Setelah menjadi super milyuner, kedua orang ini tetap tidak mendewakan uang. Gates dan Allen adalah penyumbang aktif untuk organisasi-organisasi sosial. Kegiatan-kegiatan filantropis Gates dan Allen benar-benar tulus dan keluar dari lubuk hati terdalam mereka, bukan sekedar untuk membangun public image yang bagus. Pierre Omidyar dan Jeff Skoll, mendirikan eBay bukan karena berharap menjadi milyuner suatu saat nanti. Mereka melakukannya karena percaya pada kekuatan pasar bebas yang direplikasi di dunia maya. Baik Omidyar atau pun Skoll sekarang lebih aktif dalam dunia filantropis dibanding mengurusi eBay.
Dan orang kedua terkaya di dunia? Warren Buffett, sang investor nomor satu di Amerika Serikat. Buffet sampai saat ini masih tinggal di rumahnya di Omaha yang sudah ditempati 50 tahun. Mobilnya juga masih mobil lama meski kekayaannya hanya bisa diimbangi oleh Gates. Buffett sendiri mengaku dia tidak tertarik dengan uangnya, tapi proses penciptaan nilai lewat perusahaan-perusahaan yang dibelinya. Sekitar 90% kekayaan pribadi Buffett disumbangkan untuk tujuan amal.
Berbeda dengan pandangan umum, orang-orang yang super kaya tidak memikirkan uang, uang, dan uang. Bagi mereka, uang justru merupakan hasil sampingan dari pengejaran mimpi mereka dengan gairah dan kepercayaan. (Untuk para wirausaha, kejarlah mimpi Anda, bukan uang.)
Dan siapa yang lebih berbahagia dan sukses menurut Anda: Bunda Theresa atau Michael Jackson? Dalai Lama atau Suharto? Negara paling bahagia sedunia? US? Prancis? Jepang? Australia? Italia? Bukan.. bukan.. Menurut World Values Surveys (WVS) yang dilakukan oleh University of Michigan, peringkat negara-negara paling bahagia tidak berkorelasi langsung dengan rata-rata pendapatan perkapita penduduknya. Memang di peringkat atas terdapat negara-negara kaya seperti Denmark dan Finlandia, tetapi negara-negara berkembang seperti Nigeria, Meksiko, Venezuela, El Salvador, dan Puerto Rico juga sering menempati posisi atas. Indonesia? Kita menduduki papan tengah dan masih lebih baik dari beberapa negara maju lainnya seperti Italia, Jepang, dan Korea Selatan. Yang menarik dari ranking ini adalah: negara-negara yang menjunjung tinggi nilai kekeluargaan, tidak terlibat konflik bersenjata, dan tidak terlalu materialistis adalah negara-negara paling bahagia di dunia. Negara-negara maju yang aman dan memiliki tunjangan sosial yang baik (seperti Denmark dan Finlandia) juga memiliki peringkat yang tinggi. Sementara negara-negara maju yang menunjukkan kompetisi yang tinggi atau hedonis seperti Jepang tidak memiliki ranking yang terlalu baik. Paling parah adalah negara-negara yang masih dilanda konflik bersenjata di dalam negeri atau dengan negara lain seperti Irak atau Zimbabwe.
Prinsip obliquity ini masuk akal karena kita hidup di dunia yang digerakkan oleh sistem yang kebanyakan komponennya di luar kendali kita. Logika sederhana “Bila A lalu B” tidak laku di sini. Yang terjadi umumnya adalah: “Bila A, lalu B dan C; B mempengaruh C dan D; D mempengaruhi A, dst…” Belum lagi bila kita berhadapan dengan sesama manusia yang tingkah lakunya sukar diprediksi. Karena itu, pengejaran tujuan yang bersifat langsung kadang sulit diprediksi keberhasilannya.
Lalu apa yang harus dilakukan untuk mencapai hal-hal penting tersebut?
Kita jelas tidak bisa menemukan jawaban lengkap. John Kay juga tidak berani menawarkan jawaban. Tapi, hal-hal yang diajarkan oleh agama dan orang-orang bijak sejak ribuan tahun lalu mungkin bisa dijadikan titik awal (paling tidak, bila ajaran tersebut mampu bertahan ribuan tahun, pasti ada alasannya). Berdoa dan percaya pada Tuhan. Kenali dan jadilah diri sendiri. Bersikap jujur. Berilah sebelum meminta. Berilah cinta tanya syarat. Kerja keras. Tekun. Temukan tujuan hidupmu dan jalankan. Tidak mudah memang, tapi bisa jadi itu juga alasan mengapa sedikit dari kita yang bisa benar-benar mencapai hal-hal penting tersebut.