Tuesday, May 24, 2011

SBI Stabilisator Atau Agresor


Ada dua isu ekonomi yang paling hangat dalam dua minggu terakhir. Pertama, gagasan berbagai kalangan untuk mengamandemen UU No 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia. Kedua, gagasan penghapusan Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Gagasan pertama dimaksudkan untuk mengubah aturan BI, khususnya peranan bank sentral dalam mendorong kinerja perekonomian nasional. BI yang sejak tahun 1999 tidak lagi menyalurkan kredit likuiditas atau biasa disebut dengan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI), diusulkan untuk dihidupkan kembali, sebagaimana yang menjadi salah satu bagian fungsi BI dalam UU No. 13 Tahun 1968 tantang Bank Sentral.
Gagasan kedua dimaksudkan untuk menghilangkan fasilitas SBI sebagai tempat penyimpanan dana-dana perbankan. Sebab keberadaan SBI dinilai menjadi faktor yang mendorong melemahnya penyaluran kredit oleh perbankan. Di samping itu, keberadaan SBI juga menjadi beban bagi keuangan negara, karena APBN harus membayar bunga SBI, yang secara umum berada di atas suku bunga deposito.

Ambiguitas PerekonomianKedua gagasan ini, walau pun hilirnya datang dari dua arah yang berbeda, namun alirannya bersimpul dalam satu muara, yakni gagasan-gagasan untuk meningkatkan kinerja sektor riil. Kedua gagasan yang terkesan nyeleneh -dilihat dari kacamata teori ekonomi- namun tetap dapat dihargai karena pesan (massage) yang disampaikan sangat jelas, yakni upaya menggerakkan sektor rill.
Ada beberapa pesan (massages) penting yang dapat ditarik dari kedua gagasan ini. Pertama, adanya kekhawatiran terjadinya pembusukan ekonomi akibat tidak bergeraknya sektor riil. Jika sektor riil tetap tidak bergerak, konsekuensi yang harus dihadapi adalah penurunan kesejahteraan masyarakat. Pengangguran akan meningkat dan daya beli akan terus melorot.
Kedua, kebingungan para penggagas memahami ambiguitas perekonomian. Memang sangat tidak mudah memahami kinerja perekonomian Indonesia yang mendua (ambigu), di mana sisi makro terus mengalami perbaikan namun di sisi mikro tetap terpuruk. Secara teori, perbaikan makroekonomi akan dengan sendirinya merangsang perbaikan mikroekonomi, khususnya sektor riil. Namun sejak beberapa tahun sejak tercapainya perbaikan ekonomi makro, kinerja ekonomi mikro tetap tidak membaik.
Ketiga, dibutuhkan langkah-langkah yang revolusioner untuk menggerakkan sektor riil, termasuk di dalamnya langkah-langkah yang ekstralegalitas. Maka mencuatlah kedua gagasan itu, walaupun penggagasnya sendiri menyadari hal itu bertentangan dengan undang-undang.
Penghapusan SBIJika gagasan pertama datang dari beberapa anggota DPR, maka gagasan kedua justru datang dari seorang menteri dan Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN). Tidak kurang dari Menteri Perindustrian Fahmi Idris bersuara keras meminta agar SBI ditiadakan. Demikian juga dengan Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) MS Hidayat menyerukan hal yang sama.
Permintaan kedua pemangku sektor riel itu, memang sangat beralasan. Keberadaan SBI justru dimanfaatkan perbankan sebagai lahan bisnis baru untuk mendapatkan keuntungan. Logikanya, dengan hilangnya SBI, perbankan tidak memiliki pilihan lain, kecuali menyalurkan dananya ke dunia usaha.
Namun pertanyaannya, apakah kemandegan kinerja sektor riil menjadi alasan penghapusan SBI? Nampaknya, langkah itu merupakan sesuatu hal yang tidak mungkin diwujudkan, paling tidak dalam waktu dekat. “Kalau saat ini SBI langsung dihapuskan, dengan cara apa kita mengatur kelebihan likuiditas?” ujar Deputi Gubernur BI Aslim Tadjuddin, seperti dikutip Harian Kompas, Senin (19/2).
Dibutuhkan waktu yang cukup panjang untuk mempersiapkan instrumen baru pengganti SBI.
Rencananya, BI tengah menyiapkan beberapa alternatif, seperti Treasury Bill di Amerika Serikat atau Surat Perbendaharaan Negara (SPN) di Indonesia ataupun SBI overnight. “Jadi, saya harap semua pihak bisa bersabar. SBI akan dihapuskan secara bertahap seiring dengan penerbitan SPN yang saya dengar akan dilakukan pada kuartal ini,” ujarnya.
Berita Indonesia pun yakin, permintaan Menteri Perindustrian Fahmi Idris itu, tidak benar-benar dimaksudkan untuk menghapus SBI, terlebih dalam waktu dekat. Jika Fahmi Idris benar-benar ingin menghapuskan SBI dalam waktu dekat, maka ia pasti memberi alternatif pengganti SBI untuk mengelola stabilitas moneter.
Di samping itu, sebagai mantan pelaku usaha dan mantan anggota DPR yang sejak menapaki karirnya di Senayan, selalu menggeluti komisi-komisi yang berkaitan dengan ekonomi, Fahmi Idris pastilah menyadari ketidakmungkinan mencabut SBI, terlebih-lebih tanpa adanya pengganti instrumen stabilisator moneter.
Permintaan Fahmi Idris yang terkesan ketus, mungkin hanyalah bentuk kemarahan terhadap perilaku para bankir yang hanya mengejar keuntungan dengan mengabaikan fungsi utamanya sebagai penyalur kredit kepada dunia usaha. Perilaku para bankir itu, telah dengan tragis mengabaikan keterpurukan sektor riil.
Namun ironisnya, berbagai kalangan justru menyetir pernyataan Menteri Perindustrian itu, sebagai sesuatu yang layak dilakukan. Bahkan, mereka sepertinya tidak lagi sempat mempertimbangkan risiko yang bakal muncul dari penghapusan SBI.
Fungsi Pengendalian Gejolak MoneterAda kata-kata bijak yang menyatakan, “Jangan membakar lumbung untuk mengusir tikus” atau “Palu tidak dibutuhkan untuk membunuh nyamuk”. Pemeo ini seharusnya menjadi acuan dalam menghadapi persoalan mandeknya sektor riil.
Memang benar, dengan tidak adanya fasilitas SBI, tidak boleh tidak, perbankan harus mengalokasikan dananya ke sektor riil. Namun risiko moneter yang berpotensi timbul dari penghapusan SBI, juga sangat luar biasa. Volatilitas moneter yang sewaktu-waktu muncul, menjadi tidak terkendali tanpa instrumen pengendali, sebagaimana fungsi SBI.
Sesungguhnya, filosofi keberadaan SBI dimaksudkan sebagai pengendali atau stabilisator perekonomian. SBI berfungsi menyeimbangkan permintaan (demand) dan penawaran (supply) melalui penyesuaian jumlah uang beredar. Jika uang beredar terlalu banyak hingga mendorong perekonomian pada ancaman inflasi, BI akan memperkecil jumlah uang beredar melalui operasi pasar pelelangan SBI dengan tingkat suku bunga yang lebih tinggi dari tingkat inflasi saat itu.
Bank-bank akan menempatkan dananya di SBI selama marjin keuntungan dari bunga SBI dianggap layak oleh perbankan. Sebaliknya, jika perbankan merasa tingkat keuntungan dari penempatan dana di SBI lebih rendah dari penyaluran kredit, mereka sudah barang tentu tidak menempatkan dananya di SBI.
Seiring dengan menurunnya laju inflasi, keuntungan perbankan dari penempatan SBI menjadi semakin kecil, dan pada saat itu perbankan akan menarik dananya dari SBI untuk kemudian disalurkan menjadi kredit. Dengan penyaluran kredit ini, keuntungan perbankan akan jauh lebih besar.
Namun permasalahan yang muncul di Indonesia saat ini adalah keengganan bank-bank menarik dananya dari SBI. Alasan satu-satunya adalah faktor risiko yang nihil dari penempatan dana di SBI, walau pun keuntungan yang diperoleh sangat kecil. Celakanya, pembiayaan sektor riil menjadi mandul. Dalam kondisi demikian, SBI telah menjadi aggressor atau penggangu perekonomian.
SPN Tidak MemadaiDi tengah-tengah gagasan penghapusan SBI, berbagai kalangan juga sudah mengusulkan penggunaan beberapa sistem pengendali moneter, namun menurut Deputi Gubernur Aslim Tadjuddin, hanya dua instrumen yang layak digunakan, yakni SPN dan SBI Overnight.
SPN atau Surat Perbendaharaan Negara adalah semacam surat utang jangka pendek yang diterbitkan Departemen Keuangan. Dana yang diperoleh atas penerbitan SPN ini digunakan untuk membiayai proyek-proyek pemerintah. Namun jumlah penerbitan SPN sangat terbatas jika dibandingkan dengan jumlah SBI.
Maksimal jumlah SPN yang akan diterbitkan Departemen Keuangan, tidak akan melebihi jumlah defisit anggaran. Jika bertitik tolak dari APBN 2007, jumlah SPN yang mungkin diterbitkan pemerintah hanya berkisar Rp 35 triliun hingga Rp 40 triliun.
Nilai SPN ini sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah SBI yang mencapai Rp 237 triliun. Dengan demikian, SPN tidak dapat diharapkan efektif menjadi penghendali moneter karena daya serapnya yang terbatas.
Namun demikian, Deputi Gubernur BI Aslim Tadjuddin, sangat positif. “Kalau uang di SBI itu kan sifatnya idle. Tapi kalau ditempatkan ke T-Bills atau SPN kan bisa digunakan untuk pembiayaan proyek-proyek pemerintah, infrastruktur, dan lain-lain,” jelas Aslim, seperti dikutip Investor Daily, Kamis (17/1).
SBI Overnight Terhalang BenchmarkSementara itu, alternatif lain pengganti SBI adalah SBI overnight. Perbedaan di antara keduanya terletak pada tingkat suku bunga. Tingkat suku bunga SBI yang merupakan realisasi dari BI Rate (suku bunga acuan BI), membuat beban bunga SBI yang ditanggung APBN sangat tinggi.
Karena merupakan implementasi BI Rate, tingkat suku bunga SBI menjadi lebih tinggi dari suku bunga komersial. Ukuran bunga komersial mengacu pada tingkat suku bunga deposito. Oleh karena itulah, SBI menjadi lahan bisnis yang sangat menarik bagi bank, karena memberi keuntungan yang cukup memadai.
Oleh karena itulah BI sedang mengkaji penggunaan SBI Overnight untuk mengganti SBI, dengan tingkat suku bunga yang saat ini berada pada kisaran 4% hingga 5%. Deputi Gubernur BI Hartadi A. Sarwono mengakui banyak negara yang sudah meninggalkan instrumen SBI dan beralih menggunakan sinyal moneter jangka pendek overnight atau tujuh hari.
Bank Sentral AS (Federal Reserve) juga menggunakan benchmark suku bunga berdasarkan overnight. Dengan peralihan sinyal moneter ke SBI Overnight, diharapkan menjadi langkah awal untuk mempercepat perbankan untuk menurunkan suku bunganya ke level yang kondusif bagi dunia usaha.
Namun menurut Hartadi, implementasi SBI Overnight masih terkendala pada benchmark (patokan) karena segmentasi perbankan yang masih terlalu besar, yakni antara bank-bank kecil dengan bank-bank besar. Di antara keduanya berbeda dalam penentuan tingkat bunga overnight. “Biasanya bank besar seperti itu jika meminjam di pasar uang antarbank overnight akan lebih murah dibanding bank kecil,” kata Hartadi, sebagaimana dikutip Investor Daily, Kamis (17/1). MH 

No comments:

Post a Comment