Wednesday, May 4, 2011

Sang Petani dan Filsuf

Alkisah tersebutlah seorang filsuf yang bijak di suatu negeri yang tak usahlah diberi definisi. Sejak masa muda, Sang Filsuf sudah mengembara untuk mengambil pelajaran dari orang-orang bijak di seantero pelosok negeri. Sudah banyak ilmu dikumpulkan dan sudah tak terperi berapa kali ceramah dia beri. Pendek kata, sampai pada usianya saat ini dia sudah mendapat nama besar di masanya. Kedatangannya selalu dinanti khalayak ramai dan kehadirannya selalu ditunggu untuk dijamu.

Suatu saat, dia sedang berada di suatu desa yang baru saja mengalami bencana gempa. Sang Filsuf bersengaja bersusah payah menghampiri kawasan yang porak poranda untuk menyalakan asa para penghuninya. Semua yang dilihatnya rata dengan tanah. Para ayah mengais mencari sisa-sisa rumah. Para ibu menangisi mencari si bayi. Anak-anak termangu tak mampu seperti tak mau bermain lagi dan berlari. Sang Filsuf melihat mata-mata yang perlu diberi kata-kata, melihat kosongnya jiwa yang perlu diisi nasihat berharga.

Dikumpulkanlah orang-orang yang selamat dari bencana. Ujarnya pelan dan berwibawa, ”Wahai sekalian penduduk desa, lelaki dan perempuan, tua dan muda, duduklah kalian sebentar di sekelilingku.”


”Aku tahu kalian baru saja menghadapi bencana. Kehilangan keluarga yang dicinta dan harta yang berharga. Tetapi ketahuilah, ada bencana yang lebih berbahaya dari sekedar kehilangan jiwa dan harta benda. Bencana itu adalah putus asa…”

Beberapa lama Sang Filsuf menguraikan hikmah dan nasihatnya. Beberapa orang sudah mulai bisa menengadahkan kepala untuk mendengarkan lebih seksama. Di akhir petuahnya, Sang Filsuf berkata, ”Bangkitlah wahai penduduk desa yang perkasa, bersama kita saling berusaha dan bangkit membangun kembali dari puing yang tersisa.” Setelah dirasa cukup, maka penduduk desa pun dia persilakan kembali ke tempat mereka mengungsi dan beristirahat kembali. Hari mulai larut, dan Sang Filsuf memutuskan bermalam sejenak untuk esok berjalan kembali.

”Menginaplah di tempatku yang sederhana,” terdengar ucapan seseorang. Suara yang pelan tersebut berasal dari seseorang yang Sang Filsuf melihatnya di antara kerumunan.

”Aku adalah Petani. Walau rumahku sebagian hancur, tapi aku masih memiliki tempat bermalam yang baru kubangun sendiri,” tambahnya lagi. Berjalanlah mereka berdua ke arah ladang di pinggir desa. Sebelum beristirahat, berdua mereka berbicara sekedarnya.

”Di mana istri dan anakmu?” Tanya Sang Filsuf kepada Petani.

“Istriku tidak sempat menyelamatkan diri dan meninggal di rumahku sendiri. Dua anakku mati dan seorang lagi sedang mencari menantuku yang masih belum ketemu,” jawab Petani dengan getir.

“Masihkah kau mengingat nasihatku tadi? Kau harus tabah dan melanjutkan hidup dengan berani,” petuah dari Sang Filsuf.

”Apakah kau pernah menikah dan punya anak?” tanya Petani.

”Tidak. Aku menghabiskan waktu untuk berpikir dan memberi pencerahan di seluruh negeri sehingga tidak sempat memiliki anak dan istri,” jawab Sang Filsuf.

“Kalau begitu, mungkin kau belum mengerti rasanya kehilangan orang yang dicintai,” kata Petani.

“Apakah pekerjaanmu sehari-hari?” tanya Petani kembali.

”Aku hidup dari ilmuku. Kuberi orang-orang nasihat dan terkadang aku disediakan makan dan penginapan. Bahkan penguasa selalu memberi emas yang tak kan habis bila kumakan setiap hari. Jadi aku tidak perlu bekerja,” jawab Sang Filsuf.

”Kalau begitu, mungkin kau belum pernah rasanya kehilangan harta dari keringat yang kau peras hari demi hari.” kata Petani.

”Hidupku adalah praktik sehari-hari, bertani dan bekerja setiap hari,” Petani mengucapkan seperti kepada dirinya sendiri tanpa emosi dan tendensi. Namun demikian, tiap perkataan Petani malam ini seperti palu godam yang dilepaskan dan menghantam kesadaran Sang Filsuf. Percakapan mereka berakhir ketika tuan rumah mempersilakan tamunya tuk beranjak mengistirahatkan diri.

Malam itu Sang Filsuf merenungi segala kejadian ini. ”Hidup tak hanya teori dan puisi,” ucap Sang Filsuf kepada diri sendiri. Ternyata kebijaksanaan tidak didapatkan lewat ucapan, tetapi dari kenyataan kehidupan. Terkadang orang biasa pun memiliki kebijaksanaan yang tak dimiliki seorang menteri, filsuf atau bahkan oleh penguasa negeri. Keesokan harinya, Sang Filsuf berpamitan ke seluruh desa untuk pergi. Sejak saat itu dia menjadi menjadi orang yang tak sama lagi. Sang Filsuf memilih menjadi orang biasa dan menjadi bijaksana dari hikmah kejadian sehari-hari.

Kejadian hidup adalah misteri, dan sebagian kecil arti baru diketahui ketika sudah jauh terlewati dan mungkin sebagian besarnya lagi baru terjawab setelah mati.
Source : http://filsafat.kompasiana.com/2010/05/04/sang-filsuf-dan-petani/

No comments:

Post a Comment