Anda seorang orang tua yang ingin dicintai anak-anak Anda. Karena
itu, Anda meminta mereka untuk mencintai Anda. Mereka justru semakin
menjauh.
Anda seorang yang sedang mencari cinta sejati. Karena itu, Anda
menghabiskan waktu untuk perawatan kecantikan, berusaha menampilkan diri
Anda yang terbaik dan sebisa mungkin menutupi kekurangan Anda. Anda
ingin menunjukkan bahwa Anda lebih istimewa dibanding kandidat lainnya.
Cinta sejati justru tidak pernah datang.
Anda seorang pemilik usaha yang ingin mencapai sukses
setinggi-tingginya. Anda berusaha mencari segala cara untuk menurunkan
biaya dan menaikkan harga. Dalam jangka pendek, cara tersebut kelihatan
berhasil, namun perlahan-lahan pelanggan mulai meninggalkan
produk-produk Anda.
Anda seorang pencari kebahagiaan. Anda berusaha menciptakan
lingkungan yang bisa memberi Anda kesenangan terus menerus. Anda justru
merasa bosan dan hampa.
Sementara itu, Anda melihat orang-orang yang kelihatannya tidak
berupaya sekeras Anda justru berhasil menggapai apa yang Anda
idam-idamkan.
Bila Anda (atau orang-orang yang Anda kenal) pernah mengalaminya, menurut John Kay, seorang ekonom terkemuka Inggris, hal itu adalah hasil dari prinsip obliquity.
Kay berpendapat, hal-hal penting yang melibatkan partisipasi orang
lain — seperti kekayaan berlimpah, cinta kasih, kebahagiaan — dan yang
melibatkan sistem yang kompleks seperti kelestarian lingkungan hidup,
lebih baik dicapai dengan cara-cara tidak langsung. Pencapaian yang
dilakukan secara langsung, walau mungkin bisa memberikan sukses sesaat,
namun dalam jangka panjang bisa menjadi bumerang.
Sepintas pendapat tersebut kedengaran kurang masuk akal. Bukankah
orang-orang yang berusaha kaya akan berusaha lebih keras dibanding orang
yang tidak melakukan apa-apa? Bukankah kerja keras sangat dihargai?
Bukankah orang yang secara spesifik mencari pasangan hidup akan memiliki
probabilitas lebih tinggi untuk mendapatkan pendamping hidup?
Menurut Kay, dalam batas-batas tersebut, jawabannya adalah “YA”.
Orang-orang yang berusaha untuk kaya secara rata-rata pasti lebih kaya
dari yang tidak berusaha. Dan demikian juga untuk hal-hal lainnya.
Namun, bila Anda ingin benar-benar kaya, benar-benar sukses, benar-benar
bahagia, Anda dianjurkan untuk tidak mengejar tujuan tersebut secara
langsung. Tentu saja Anda tetap harus bekerja keras, namun kerja keras
tersebut dilakukan demi alasan lain.
Lihat saja daftar orang-orang kaya versi Forbes atau Fortune. Bill Gates,
yang selalu menempati ranking orang terkaya di dunia selama beberapa
tahun terakhir, tidaklah menghabiskan waktu untuk menghitung
penghasilannya setelah mendirikan Microsoft.
Apa yang ada di pikirannya adalah membuat sistem operasi dan perangkat
lunak komputer yang lebih baik dan mengejar mimpinya untuk melihat
setiap orang memiliki satu komputer. Demikian juga partnernya, Paul Allen.
Setelah menjadi super milyuner, kedua orang ini tetap tidak mendewakan
uang. Gates dan Allen adalah penyumbang aktif untuk
organisasi-organisasi sosial. Kegiatan-kegiatan filantropis Gates dan
Allen benar-benar tulus dan keluar dari lubuk hati terdalam mereka,
bukan sekedar untuk membangun public image yang bagus. Pierre Omidyar dan Jeff Skoll, mendirikan eBay
bukan karena berharap menjadi milyuner suatu saat nanti. Mereka
melakukannya karena percaya pada kekuatan pasar bebas yang direplikasi
di dunia maya. Baik Omidyar atau pun Skoll sekarang lebih aktif dalam
dunia filantropis dibanding mengurusi eBay.
Dan orang kedua terkaya di dunia? Warren Buffett, sang investor nomor
satu di Amerika Serikat. Buffet sampai saat ini masih tinggal di
rumahnya di Omaha yang sudah ditempati 50 tahun. Mobilnya juga masih
mobil lama meski kekayaannya hanya bisa diimbangi oleh Gates. Buffett
sendiri mengaku dia tidak tertarik dengan uangnya, tapi proses
penciptaan nilai lewat perusahaan-perusahaan yang dibelinya. Sekitar
90% kekayaan pribadi Buffett disumbangkan untuk tujuan amal.
Berbeda dengan pandangan umum, orang-orang yang super kaya tidak memikirkan uang, uang, dan uang.
Bagi mereka, uang justru merupakan hasil sampingan dari pengejaran
mimpi mereka dengan gairah dan kepercayaan. (Untuk para wirausaha,
kejarlah mimpi Anda, bukan uang.)
Dan siapa yang lebih berbahagia dan sukses menurut Anda: Bunda
Theresa atau Michael Jackson? Dalai Lama atau Suharto? Negara paling
bahagia sedunia? US? Prancis? Jepang? Australia? Italia? Bukan.. bukan..
Menurut World Values Surveys (WVS) yang dilakukan oleh University of Michigan,
peringkat negara-negara paling bahagia tidak berkorelasi langsung
dengan rata-rata pendapatan perkapita penduduknya. Memang di peringkat
atas terdapat negara-negara kaya seperti Denmark dan Finlandia, tetapi
negara-negara berkembang seperti Nigeria, Meksiko, Venezuela, El
Salvador, dan Puerto Rico juga sering menempati posisi atas. Indonesia?
Kita menduduki papan tengah dan masih lebih baik dari beberapa negara
maju lainnya seperti Italia, Jepang, dan Korea Selatan. Yang menarik
dari ranking ini adalah: negara-negara yang menjunjung tinggi nilai
kekeluargaan, tidak terlibat konflik bersenjata, dan tidak terlalu
materialistis adalah negara-negara paling bahagia di dunia.
Negara-negara maju yang aman dan memiliki tunjangan sosial yang baik
(seperti Denmark dan Finlandia) juga memiliki peringkat yang tinggi.
Sementara negara-negara maju yang menunjukkan kompetisi yang tinggi
atau hedonis seperti Jepang tidak memiliki ranking yang terlalu baik.
Paling parah adalah negara-negara yang masih dilanda konflik bersenjata
di dalam negeri atau dengan negara lain seperti Irak atau Zimbabwe.
Prinsip obliquity ini masuk akal karena kita hidup di dunia
yang digerakkan oleh sistem yang kebanyakan komponennya di luar kendali
kita. Logika sederhana “Bila A lalu B” tidak laku di sini. Yang
terjadi umumnya adalah: “Bila A, lalu B dan C; B mempengaruh C dan D; D
mempengaruhi A, dst…” Belum lagi bila kita berhadapan dengan
sesama manusia yang tingkah lakunya sukar diprediksi. Karena itu,
pengejaran tujuan yang bersifat langsung kadang sulit diprediksi
keberhasilannya.
Lalu apa yang harus dilakukan untuk mencapai hal-hal penting tersebut?
Kita jelas tidak bisa menemukan jawaban lengkap. John Kay juga tidak
berani menawarkan jawaban. Tapi, hal-hal yang diajarkan oleh agama dan
orang-orang bijak sejak ribuan tahun lalu mungkin bisa dijadikan titik
awal (paling tidak, bila ajaran tersebut mampu bertahan ribuan tahun,
pasti ada alasannya). Berdoa dan percaya pada Tuhan. Kenali dan jadilah diri sendiri. Bersikap jujur. Berilah sebelum meminta. Berilah cinta tanya syarat. Kerja keras. Tekun. Temukan tujuan hidupmu dan jalankan.
Tidak mudah memang, tapi bisa jadi itu juga alasan mengapa
sedikit dari kita yang bisa benar-benar mencapai hal-hal penting
tersebut.